Review Negatif Film Superman (2025)

Bayangkan kita keluar dari bioskop bukan dengan perasaan terinspirasi, melainkan dengan kekecewaan yang mendalam. Sebuah skenario di mana harapan besar justru berujung pada kegagalan yang signifikan.

Sebagai seorang sinefil, gua akan mengulas film ini dari sudut pandang kritis, di mana eksekusinya gagal mencapai potensi yang seharusnya, berdasarkan gua yang mencari celah juga dibantu internet. Ulasan ini non-spoiler dan berikut ulasan negatif untuk film Superman (2025) 

Harapan yang Kandas di Tengah Krisis Identitas


Ada beban berat yang ditanggung oleh film Superman. Ia tidak hanya harus bagus, tapi juga harus benar. Ia harus mewujudkan sebuah ide. Sayangnya, film yang digadang-gadang sebagai fajar baru DC Universe di bawah arahan James Gunn ini terasa seperti sebuah langkah yang goyah dan tidak pasti. Superman (2025) adalah film yang penuh dengan ide-ide bagus, tetapi dieksekusi dengan krisis identitas yang parah, menghasilkan karya yang bising, tidak fokus, dan anehnya, hampa.

James Gunn, seorang sutradara dengan gaya yang sangat khas, tampaknya lebih tertarik untuk membuat "sebuah film James Gunn" daripada membuat "sebuah film Superman." Hasilnya adalah benturan tonal yang canggung, di mana optimisme yang ingin disampaikan terasa dipaksakan dan palsu. 

1. Cerita dan Skenario

Masalah terbesar film ini terletak pada skenarionya yang membengkak (bloated). Dalam upayanya untuk membangun sebuah semesta secara instan, Gunn memasukkan terlalu banyak karakter. Pengenalan anggota Justice League Hawkgirl, Mister Terrific, dan lainnya terasa terburu-buru dan mencuri waktu layar yang seharusnya didedikasikan untuk pengembangan trio inti: Clark, Lois, dan Lex.

Akibatnya, Superman seringkali terasa seperti karakter pendukung di filmnya sendiri. Ia lebih banyak bereaksi terhadap kekacauan di sekelilingnya daripada menjadi penggerak cerita. Humor khas Gunn yang biasanya menjadi kekuatan, di sini seringkali terasa salah tempat, memotong ketegangan dramatis dan merusak momen-momen yang seharusnya emosional. Plotnya terasa episodik dan terpencar, lebih sibuk menanam benih untuk lima film berikutnya daripada menceritakan satu kisah yang koheren dan memuaskan.

2. Penyutradaraan dan Visi Artistik

Visi artistik James Gunn yang berhasil di Guardians of the Galaxy atau The Suicide Squad terasa seperti sepatu yang salah ukuran untuk Superman. Gaya penyutradaraannya yang serba cepat, penuh editan jenaka dan dialog tumpang tindih, justru membuat film ini kehilangan keagungan dan ketulusan yang dibutuhkan karakter ini.

Alih-alih terasa optimis secara tulus, dunia yang disajikan terasa seperti lapisan permen yang artifisial. Keputusan untuk terus-menerus menggunakan lagu-lagu pop sebagai needle-drop terasa mengganggu dan menarik penonton keluar dari dunia Metropolis. Visi Gunn untuk Superman terasa seperti sebuah formula yang diterapkan secara paksa, bukan sebuah pemahaman mendalam terhadap jiwa sang karakter. Film ini tidak memiliki detak jantungnya sendiri; ia meminjam detak jantung dari film-film Gunn sebelumnya.

3. Akting dan Penampilan Aktor

Ini adalah kasus klasik di mana para aktor berbakat dikecewakan oleh materi yang lemah.

  • David Corenswet sebagai Superman/Clark Kent: Corenswet memiliki penampilan fisik yang pas, tetapi skenarionya tidak memberinya banyak ruang untuk bersinar. Clark-nya terlalu pasif, dan Superman-nya kurang memiliki gravitasi. Ia lebih sering ditampilkan sebagai simbol yang dikagumi atau ditakuti dari kejauhan, daripada sebagai karakter yang bisa kita kenali secara personal. Ia adalah Superman yang hampa.

  • Rachel Brosnahan sebagai Lois Lane: Bakat komedi Brosnahan yang luar biasa justru menjadi bumerang. Lois di sini ditulis lebih seperti karakter komedi situasi (sitcom) yang berbicara cepat daripada seorang jurnalis pemenang Pulitzer. Chemistry-nya dengan Clark terasa dipaksakan karena mereka jarang berbagi momen yang tenang dan tulus.

  • Nicholas Hoult sebagai Lex Luthor: Lex versi Hoult adalah kumpulan keunikan eksentrik yang membingungkan. Motivasinya untuk membenci Superman terasa dangkal dan tidak pernah benar-benar dieksplorasi secara mendalam, terkubur di bawah dialog yang mencoba terlalu keras untuk menjadi pintar. Ia tidak terasa mengancam, hanya aneh.

4. Estetika Visual dan Audio

Secara teknis, film ini kompeten, tetapi tidak memiliki jiwa. Palet warna yang cerah terkadang terasa berlebihan dan norak, membuat dunia terasa seperti plastik. Adegan aksi, meskipun besar, seringkali terasa kacau dan penuh dengan CGI yang kurang berbobot. Sulit untuk merasakan dampak dari setiap pukulan atau penyelamatan ketika semuanya terasa seperti tontonan visual yang steril.

Skor musiknya gagal total dalam menciptakan tema yang berkesan. Ia terdengar generik dan mudah dilupakan, sebuah dosa besar untuk film Superman. Seperti yang telah disebutkan, penggunaan lagu-lagu pop yang konstan lebih terasa seperti sebuah gimmick daripada pilihan artistik yang mendukung cerita.

5. Dampak dan Pesan Amanat

Ironisnya, sebuah film yang seharusnya tentang harapan justru terasa sinis dalam eksekusinya. Pesan tentang kebaikan dan kebenaran yang coba disampaikan tenggelam dalam kebisingan franchise-building. Sulit untuk merasakan ketulusan dari pesan tersebut ketika filmnya sendiri terasa seperti produk rakitan komite yang dirancang untuk menjual mainan dan tiket film-film berikutnya.

Film ini tidak meninggalkan dampak emosional yang mendalam. Ia tidak menginspirasi, juga tidak membuat kita merenung. Ia hanya lewat begitu saja, sebuah tontonan mahal yang terlupakan begitu lampu bioskop kembali menyala. Amanatnya hanya sebatas kata-kata, tidak pernah benar-benar dirasakan.

Superman (2025) adalah sebuah kekecewaan besar dan awal yang salah langkah untuk DC Universe. Alih-alih menjadi fondasi yang kokoh, ia justru terasa seperti tanah yang rapuh. Dalam usahanya untuk membuat Superman "menyenangkan" dan "berbeda," James Gunn secara tidak sengaja telah melucuti karakter tersebut dari keagungan, ketulusan, dan hati yang membuatnya abadi.

Ini bukanlah fajar baru yang dijanjikan, melainkan senja yang membingungkan. Sebuah bukti bahwa gaya khas seorang sutradara tidak selalu cocok untuk setiap cerita.

Posting Komentar untuk "Review Negatif Film Superman (2025) "