Review Film Satria Dewa: Gatotkaca. Bagus, Banyak Tapinya

Salah satu film Indonesia yang paling diantisipasi tahun ini setelah tertunda sekian lama akibat pandemi, akhirnya Satria Dewa: Gatotkaca (2022) sudah tayang dilayar lebar sejak tanggal 7 Juni kemarin, dan bisa kita saksikan aksi si otot kawat tulang besi menumpas kejahatan.

Film ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo, sutradara yang terkenal akan film-film dramanya. Sebut saja Ayat-Ayat Cinta (2008), Habibie & Ainun 3 (2019), Kartini (2017), Bumi Manusia (2019) dan Surga yang Tak Dirindukan (2017)
Di departemen naskah ada Rahabi Mandra, Hanung Bramantyo dan sinematografi oleh Galang Galih. 

Film yang diadaptasi dari kisah pewayangan Indonesia ini dimeriahkan oleh Rizky Nazar (Yuda/Gatotkaca), Yasmen Napper (Agni), Yayan Ruhyan (Beceng), Cecep Arif Rahman (Pandega), Sigi Wimala (Arimbi), Omar Daniel (Danarjaya) dan Edward Akbar (Prof Arya)

Film berdurasi 2 jam lebih ini memiliki premis yang standar, terdapat dua golongan yang berselisih, mereka adalah pandawa dan kurawa. Pandawa merupakan karakter yang baik-baik sedangkan kurawa sebaliknya. Kayak autobots dan decepticon lah, sifatnya sama bedanya mereka yaa bukan robot.

Kurawa menuntut balas akan peristiwa perang yang terjadi beribu-ribu tahun yang lalu, perang itu dinamakan perang Kurusetra. Perang antara kaum Pandawa dan Kurawa itu berakhir dimenangkan oleh Pandawa. Tidak terima akan hal itu, Aswatama (dari golongan kurawa) menyerang Pandawa menggunakan senjata terlarang (kalau tidak salah namanya Nayanastra). Akibatnya Aswatama dihukum oleh para Dewa, dikurung dan diasingkan di sebuah dimensi bernama Patala.

Lompat ke masa kini, para golongan kurawa kini menuntut balas akan leluhurnya dengan membunuh satu persatu golongan pandawa. Yang mana nantinya jiwa-jiwa yang terbunuh itu perlahan akan membantu melepaskan Aswatama dari penjaranya di Patala. Mengetahui akan hal itu Yuda berusaha menghentikan kaum pandawa memanfaatkan dirinya yang ternyata keturunan darah Gatotkaca.

Selain itu golongan kurawa mengincar satu benda yang disebut Brajamusti. Benda tersebut dimiliki oleh Yuda sehingga keluarga dan orang terdekat Yuda terancam keselamatannya.

REVIEW
Film Gatotkaca rasanya tidak bisa lepas dari bayang-bayang kesuksesan Gundala-nya Joko Anwar. Seolah-olah film Gundala (2019) adalah standart baru untuk genre film superhero di Indonesia. Yang mana film Gatotkaca sudah seharusnya lebih bagus dari Gunadala. 

Oh iya ulasan ini tidak mengandung spoiler yang mana aman bagi kamu yang belum menonton film Satria Dewa: Gatotkaca (2022). Sebelum ulasannya melebar, aku mau mengucapkan salut kepada mereka semua, sineas-sineas Indonesia didepan maupun dibelakang layar film Satria Dewa: Gatotkaca (2022) (selanjutnya akan disebut film Gatotkaca). Akhirnya tayang juga filmnya. Pasti sulit dibalik proses produksi film ini mengingat film ini diproduksi saat pandemi covid 19 berlangsung. Tak heran jika diperhatikan, banyak scene di film ini sepi figuran dan syuting didalam studio yang terbatas.

Pertama, aku mau mention soal CGI. Aku tidak peduli dengan CGI di film ini. Aku berangkat dengan menyingkirkan ekspektasi CGI yang memukau. Dan hasilnya sebenarnya ada yang bagus dan jelek dibeberapa adegan, durasi terlalu singkat, kayak 2 sampai 5 menit. Cukup disayangkan tapi tidak apa-apa bagiku.

Lanjut, kualitas gambar atau visual yang disajikan menurutku cukup memanjakan mata dibeberapa adegan dan juga menyakitkan mata disaat yang bersamaan. Banyak gambar yang diambil dengan angle kamera yang dramatis dan sinematik, warnanya juga bagus, serta lokasi syutingnya yang keren. Tapi nilai plus itu ditepis dengan adanya adegan berkelahi di tempat yang super gelap, ditambah kostum dominan berwana gelap. Perlu menekuk mata sedikit agar dapat fokus dengan apa yang tejadi.

Disamping kualitas gambar yang keren, ada beberapa adegan sederhana yang disisipi iklan, yang mana lumayan mengganggu ketentraman menonton. Beberapa product placementnya ada yang cukup frontal. Bahkan ada satu adegan diisi oleh komika nasional yang sama sekali tidak ada korelasi yang membangun dengan isi cerita pada film ini. Benar-benar iklan cuk. Ada spanduknya lagi haha. Tapi adegan iklannya tergolong mudah dimaafkan. Iklan disini lebih sopan jika dibandingkan dengan film Indonesia yang lain.

Selain aspek visual yang bagus tapi ada 'tapi'nya, segi audio juga ada satu hal yang keren. Yaitu sound effect pertarungan antara Gatotkaca dengan Beceng saat armor mereka digunakan. Efek suara yang digunakan adalah suara dentuman besi, dan itu keren sekali mengingat kita tahu bahwa Gatotkaca dijuluki otot kawat tulangg besi. Satu detail menarik yang patut diacungi jempol.

Tapi, ada juga beberapa bagian audio yang jelek dan cukup menjengkelkan bagiku. Terutama penggunaan musik yang entahlah, mungkin maksudnya agar terdengar modern tapi bagi telingaku itu tidak cocok. Soundtrack dari Band Kotak pun tidak membantu mengangkat hype yang terjadi. Juga diakhir kredit musik rap yang terdengar norak.
 
Ngomong-ngomong soal suara, aku kurang suka dengan suara tokoh antagonis di film ini. Generic sekali. Suara khas penjahat, suaranya berat, bergetar, dan seperti dikasih autotune. Alih-alih terdengar  elegan dan menakutkan, malah terkesan menggelikan ditelingaku. Aku mengerti suara itu memang untuk merahasiakan identitasnya, tapi ya tidak begitu juga dong. It just doesn't work for me.

Dari segi cerita, bagiku dari paruh pertama film sampai kedua mudah untuk dipahami. Film pun dibuka dengan ngegas mengenalkan karakter jahatnya, lalu kita menemani karakter utama untuk mencari jati dirinya. That's cool. Tapi di paruh ketiga film, aku merasa kehilangan arah akan cerita film ini. Lebih tepatnya pada motivasi tokoh antagonis di film ini. Pokoknya there's a twist yang sebenarnya mudah ditebak tapi alasan dibalik itu kurang masuk akal bagiku (but i don't want spoiler a thing).

Presentasi cerita tergolong asyik dan menyenangkan untuk diikuti. Kita sebagai penonton awam pun akan mudah mengerti kisah pewayangan yang ada di film ini, karena dibantu dengan ilustrasi yang persuasif dan intuitif. Walaupun banyak dialog memakai bahasa Jawa, tetapi ada juga dialog bahasa Indonesia, bahkan pilihan diksinya pun terdengan familiar dan akrab ditelinga kita.

Lalu, bagaimana dengan sequence aksinya? Well, secara praktikal adegan aksinya sudah memukau. Disana ada Kang Yayan Ruhyan dan Kang Cecep dengan koreografi silatnya yang apik. Namun tidak sejalan saat proses editing, banyak continuity shot yang tidak sinkron. Saat menyunting, editor terasa sekali usahanya untuk menutupi wajah stuntman. Ditambah setting lokasi dalam studio dan busana yang digunakan cenderung berwarna gelap. Lokasi gelap dan kostum hitam untuk adegan berkelahi sungguh kombinasi yang menyakitkan mata. Pedih.

KESIMPULAN
Sebagai komparasi, film Gundala (2019) menurutku lebih baik dan bagus daripada Satria Dewa: Gatotkaca (2022). Film Gundala punya sinematografi, storyline, villain, cgi, element of surprise, dan fan service yang lebih baik, juga minim iklan.

Tapi kenyataannya ada banyak sekali kok nilai-nilai positif pada film ini seperti Yasmin Napper (i love her wkwk), peforma akting pemain utama dan pendukung yang maksimal, adegan berkelahi yang menegangkan, kisah pewayangan diera modern, kota Astinapura, kehadiran Gege, lokasi syuting yang indah, desain kostum yang ciamik, dan nilai moral yang disampaikan yang bukan cuma soal menindas kejahatan tetapi soal jati diri, pertemanan, keluarga baru, dan pengkhiatanan. Tetapi hal-hal positif tersebut tertutupi oleh kekurangan-kekurangan diatas.

Aku sebenarnya sangat mendukung segala bentuk dan genre film Indonesia, terutama genre Superhero. Kehadiran film Gatotkaca menandakan para sineas Indonesia sedang mempertahankan hype genre superhero setelah lama tidak disuguhkan sejak Gundala (2019). Aku berharap filmmaker Indonesia konsisten membuat film genre Superhero agar lebih luas lagi cakupan semestanya. Minimal satu film dalam satu tahun. 

3/5 ⭐️

Posting Komentar untuk "Review Film Satria Dewa: Gatotkaca. Bagus, Banyak Tapinya"