Review Film The 355 (2022)

Jajaran aktris berikut ternyata tidak mampu memikul jalan cerita film The 355 (2022) dengan baik. Bahkan dapat dinikmati pun tidak. Dibintangi oleh Jessica Chastain (CIA agent Mason Mace), Penelope Cruz (DNI agent Graciela Rivera), Diane Kruger (BND Agent Marie Schmidt), Lupita Nyong'o (MI6 agent Khadijah Adiyeme), Fan Bingbing (MSS agent Lin Mi Sheng) dan Sebastian Stan (Nick Flowler).

Pengalaman saya menonton mereka di layar lebar selama 120 menit, di kursi ternyaman, tidak membuat saya terjaga akan jalan cerita yang disajikan, yang ada saya malah mengantuk. Tentunya kita tidak bisa begitu saja menyalahkan sang aktor. Ada naskah dibalik itu semua, juga arahan dari sutradara di setiap sequence-nya akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa.

Positive thinking aja, mungkin naskahnya belum jadi hehe. Film ini disutradarai oleh Simon Kinberg, sutradara dan penulis naskah dibalik film The New Mutant (2020) dan X-Men: Dark Phoenix (2019) (hmm pantesan).

SINOPSIS

Alkisah, seorang agent CIA bernama Mason Mace diberi tugas untuk mengamankan sebuah gadget atau alat canggih yang dapat memicu terjadinya perang dunia ke-3, jika alat tersebut jatuh dipegang oleh tangan yang salah.

Hingga Mace bersitegang dengan agent BND, Marie Schmidt, yang kebetulan sedang menjalankan misi serupa. Singkatnya, mereka berdua akhirnya bekerja sama untuk mendapatkan alat berbahaya itu.

Kemudian, mereka berdua menemui agent MI6, Khadijah, seorang hacker yang mana dia adalah teman lama Mace. Lalu menemui Agent DNI, Graciela dan agent MSS, Lin. Untuk apa? entah. 

Alat yang dimaksud adalah sebuah alat yang mampu mengakses sistem keamanan apapun yang ada didunia hanya dengan menekan satu tombol. Mereka berlima harus mencari, menemukan dan mengamankan alat tersebut sebelum jatuh ke tangan yang salah. Dikhawatirkan akan terjadi perang dunia ke-3 jika mereka gagal dalam misinya.

REVIEW

Saya ceritakan pengalaman setelah menonton filmnya dulu ya. Saya merasa pusing, capek tapi lega. Dengan rasa kantuk yang berat, bahkan di adegan menegangkan, saya tetap tidak meninggalkan bangku penonton. Entahlah, apa karena kondisi tubuh saya yang kurang fit atau memang filmnya sebegitu membosankan.

Saya bisa saja walk out, cuci muka terus pulang ketika filmnya berjalan. Tetapi mengingat harga tiket masuknya 40rb, sayang banget kalau dibuang begitu saja. Setelah selesai, saya merasa lega, yang ada dibenak saya "yess selesai juga". 

Sepanjang jalan keluar saya berpikir, "tadi momen yang paling berkesan adegan yang mana ya?" tiba-tiba lupa tadi saya menonton film apa. Kenapa film ini bagi saya jelek? Apa yang salah dengan film ini? 

Well, yang pertama pengambilan gambarnya 'gempa'. Terkadang dalam adegan action pengambilan gambar secara handheld dengan hasil gambar yang sedikit mengguncang itu diperlukan agar suasana menegangkan terasa meyakinkan. Nah di film ini beda cerita, semua adegan yang ada di film ini goyang, gempa. Mulai dari adegan gelut, tembak-menembak, sampai adegan percakapan biasa gambarnya shaky. Kalau berlebihan seperti itu, tentu bikin kepala cepat pusing, berasa nonton film dokumenter perang.

Yang kedua, terlalu banyak karakter agent. Meskipun secara wajah mudah dikenali karena mereka semua berbeda ras warna kulitnya. Tetapi mereka semua agent dibawah naungan yang berbeda pula. Ditambah pengenalan karakter yang terburu-buru, langsung dihajar adegan berkelahi dan mereka tiba-tiba berteman. Membuat saya bingung dan susah mengingat peran mereka satu-persatu. Tidak begitu mulus perkenalan tokohnya.

Oh iya, mereka berlima merepresentasikan ras nya masing-masing. Menandakan nilai emansipasi wanita, pemberdayaan wanita, kesetaraan dan keberagaman dijunjung tinggi difilm ini. Dan itu hal yang luar biasa nilainya. 

Akting mereka sebenarnya sudah maksimal dan oke-oke saja. Penelope Cruz berhasil mencuri perhatian saya sih. Dia cukup lucu disini jika dibanding dengan karakter yang lain (serius semua). She's got sense of humor.  Namun itu tadi, diatas sudah saya katakan mereka tidak mampu memikul jalan cerita film ini dengan baik. Mungkin ini kesalahpahaman di departemen naskah. Yang jelas, imbas jeleknya ke para aktornya. 

Ceritanya standar film agen mata-mata yang lain. Seperti Mission Impossible, Atomic Blonde (2017) dan Charlie's Angel (2000). Dengan twist yang mudah ditebak, yakni salah satu agennya akan berkhianat gitu lah, tipikal film mata-mata. 

Parahnya lagi di film ini, sedikit sekali aspek-aspek atau hal-hal yang berbau pekerjaan seorang agen mata-mata. Seperti di-nerf gitu. Minim nilai produksi. Saya berharap akan ada gadget-gadget canggih, hingga mobil yang mengeluarkan roket ala seorang agen mata-mata keren. Namun di film ini tidak ada sama sekali sajian seperti itu. Sangat disayangkan.

Ketiga, nilai plus di film ini hanya adegan aksi nya saja. Itu pun tanggung durasinya. Tiap adegan baku hantam dan baku tembaknya selesai, dibenak saya "lah udah, gini aja". Seru dan cukup menegangkan namun durasinya terlalu singkat buat dinikmati. Sequence action di film ini setara dengan serial tv, ketika jagoan hanya perlu melumpuhkan penjahat hanya dengan satu pukulan dan satu peluru. Medioker. 

KESIMPULAN

Entahlah, silahkan saja kalian menonton film ini jika masih tersedia slot tayangnya. Tapi membuang duit 40rb dan waktu 120 menit untuk film yang membosankan adalah hal yang menyebalkan. The 355 (2022), sajian Simon Kinberg yang sulit masuk kedalam daftar film favorit saya tahun ini. Dengan cerita yang mudah ditebak, twist yang bikin gatel, kamera shaky dimana-mana dan baku hantam yang medioker. The 355 kurang saya rekomendasikan kepada kalian. meskipun kalian pecinta film spy.

Oh iya ada post credit scene, jangan beranjak dulu.

Skor pribadi untuk The 355 adalah 1,5/5⭐

Posting Komentar untuk "Review Film The 355 (2022)"