Dengan hadirnya
Ben & Jody (2022) menjadikan dunia atau
universenya
Filosofi Kopi semakin meluas. Salah satu langkah paling berani yang diambil Visinema, mengingat kemasan film ini berbeda jauh dari dua film
Filosofi Kopi sebelumnya. Ben & Jody merupakan film
spin off action drama dari
Filosofi Kopi, mereka adalah karakter utama di film ini dan sebelumnya.
Disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko, beliau juga menyutradarai film action sebelumnya yakni Wiro Sableng (2018). Film ini dibintangi oleh Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. Tak hanya itu ada Yayan Ruhian, Hana Malasan, dan Aghniny Haque.
Film berdurasi 114 menit ini tayang dibioskop pada 27 Januari 2022 di Indonesia. Dan saya bersyukur dapat kesempatan menikmati filmnya di layar lebar.
SINOPSIS
Ben & Jody (2022) menceritakan tentang persahabatan Ben dan Jody yang semakin erat dan dramatis setelah keduanya berpisah karena perbedaan tujuan. Keluar dari bisnis Filosofi Kopi, Ben kembali ke kampung halamannya dan menghabiskan waktunya dengan membantu kelompok petani kopi.
Para kelompok petani di sana sedang mengalami masa sulit akibat lahan mereka terancam direbut oleh perusahaan. Disisi Jody, ia tetap melanjutkan usaha Filosofi Kopi-nya dan berencana mengundang Ben untuk datang pada acara pesta karena ada gebrakan baru di kedai Filosofi Kopi. Namun, Ben tidak hadir dan dinyatakan menghilang. Keesokan harinya Jody memutuskan untuk mencari Ben.
Keduanya kemudian dihadapkan akan pertarungan antara hidup dan mati karena Ben disekap oleh gerombolan pembalak liar pimpinan Tubir (Yayan Ruhian). Hingga kemudian, mereka bertemu dengan kelompok masyarakat adat yang membantu menegakkan keadilan bagi para petani kopi.
REVIEW
Jika dua film Filosofi Kopi bergenre drama, Ben & Jody tampil beda dan berani dengan genre barunya yakni action. Memang terkesan jualan utamanya hanya mengedepankan aksi. Tapi film ini tidak melupakan sajian drama, kualitas akting pemain yang menyentuh hati, juga pesan amanat didalamnya.
Film ini tidak akan mengecewakan, saya jamin itu. Nilai estetik pada film tinggi, warna gambarnya bagus, banyak shot diambil dengan angle-angle yang dramatis dan terasa berbeda jika dibandingkan dengan film Indonesia sejenis.
Selain itu nilai produksi film ini terbilang niat dan super serius. Mereka membuat set sebuah kampung, dan markas di tengah hutan. Mereka membuat film ini serealistis mungkin, ditambah isu yang diangkat cukup sensitif tetapi dikemas dengan tidak terlalu frontal.
Film ini mengangkat isu pengambilan lahan kebun kopi secara paksa oleh satu pihak perusahaan yang tidak memikirkan nasib-nasib para petani yang mana jika kehilangan lahan maka terancam keberlangsungan hidup mereka. Ya, kesannya yang antagonis disini perusahaan. Namun di film ini tidak disebutkan secara spesifik perusahaan apa, pemerintah kah atau swasta? kita tidak disuapin informasi itu.
Oke, bagaimana sequence action nya? Bagus sih, masih ada tapinya. Saya suka adegan baku tembak, walaupun dibenak saya ada pertanyaan kayak, perusahaan macam apa yang punya orang-orang jahat bersenjatakan senapan hanya untuk mengambil lahan secara paksa?! Dari mana dan dari siapa aksesnya mereka punya senjata-senjata itu?
Aksi baku tembak berjalan cukup lama dan menegangkan. Suasananya sangat mendukung, gelap, minim cahaya layaknya hutan dimalam hari lah. Kita pun sebagai penonton ikut merasakan ketegangan mendengar keributan senapan yang berisik.
Saya juga suka semua adegan aksi yang ada di film ini. Kang Yayan ditunjuk sebagai koreografernya. Tak heran berantemnya bikin greget karena gerakan-gerakannya yang kreatif dan beragam. Tetapi dibeberapa adegan aksi yang dilakukan Hana Malasan dan Aghniny Haque terlihat jelas kaku dan saling menunggu. Sisanya sih keren, duelnya, senjatanya, aksi kejar-kejarannya. Keren.
Mas Angga selaku sutradara sangat mengerti medan yang ia arahkan. Detail-detail kecilnya tak luput dari perhatian, seperti peluru senjata tajam yang mahal sehingga para penjahat ini berusaha menghemat peluru. Departemen kostum dan tata rias yang konsisten, kotor dan rusaknya diperhatikan.
Well, dari segala nilai jualnya yang bagus. Satu hal yang membuat saya terharu menangis. Yakni hubungan persahabatan sehidup sematinya Ben & Jody. Ih bikin iri, andai saya punya sosok teman yang seperti Ben atau Jody. Mengingat perjuangan mereka merintis usaha jualan kopi dan sukses sampai ke titik terendah mereka hidup, auto banjir air mata.
Langkah ekspansi suatu properti rumah fillm menurut saya merupakan hal yang berani dan beresiko. Untung jika berjalan dengan mulus, terdapat sedikit saja kesalahan, atau perubahan karakter, atau ketidakkonsistennya karakter yang sudah dikembangkan selama ini, maka penilaian akan mempengaruhi ke film-film sebelumnya dan berdampak akan pengembangan kelanjutan ceritanya.
Bisa dicontoh oleh rumah produksi Indonesia yang lain agar lebih menarik dan juga kreatif. Cuan juga.
4/5⭐ nilai dari saya untuk film Ben & Jody (2022).
Terakhir, lekuk tubuh Chicco Jerrico sekarang lebih berisi, kekar dan berotot. Pasti buat projek film dia selanjutnya, Godam. Kata 'Godam' disebut di film ini. Lucu.
Walaupun Godam bukan propertinya Visinema tapi, respect kepada para sineas di film ini.
Posting Komentar untuk "Review Ben & Jody (2022)"
Posting Komentar